Proses penafsiran agama yang cenderung konservatif seperti contohnya Alqur’an dan hadis memang memiliki minat yang kuat di beberapa wilayah tergantung beberapa faktor seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk beberapa individu maupun kelompok, konsep fundamentalisme mungkin masih terasa relevan atau diperlukan sebagai cara untuk mempertahankan identitas keagamaan mereka di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang kuat. Sayangnya jika disandingkan dengan zaman kontemporer (masa kini), konsep ini sangatlah konservatif dan literal terhadap ajaran suatu agama sehingga cenderung menolak modernisasi, pluralisme, dan nilai-nilai sekuler yang dianggap bertentangan dengan keyakinan agama mereka. Fundamentalisme juga tidak cocok dengan semangat dialog, toleransi dan keberagaman yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif. Makanya perlu evaluasi dan kritik terhadap pandangan fundamentalisme dalam Islam agar dapat membantu masyarakat memahami agama secara inklusif dan kontekstual.
Dalam konteks Islam, fundamentalisme adalah pendekatan yang menekankan pada penegakan doktrin-doktrin atau prinsip-prinsip dasar dalam sebuah agama atau ideologi yang seringkali dengan cara kaku dan eksklusif. Ciri-ciri utama dari pemikiran fundamentalis dalam islam adalah kecenderungan memahami teks agama secara harfiah tanpa memperhatikan konteks historis, budaya, atau sosial. Mereka cenderung ingin mengontrol pemikiran, perilaku dan kehidupan masyarakat sesuai dengan tafsiran mereka tentang ajaran agama. Kemudian sulit menerima perubahan atau inovasi dalam pemahaman agama, cenderung untuk menggabungkan agama dan politik secara ekslusif serta mencari kekuasaan politik untuk menerapkan pandangan mereka. Contoh dari ciri tersebut adalah mendukung hukuman mati untuk penista agama tanpa mempertimbangkan perkembangan dalam pemikiran hukum internasional tentang hak asasi manusia, mereka juga menjadi radikal dan keras dalam memperjuangkan tujuan agama. Berikutnya terlihat dari kasus menolak ide-ide progresif tentang hak-hak perempuan seperti hak untuk pendidikan, pekerjaan, atau partisipasi dalam kehidupan politik, menentang gerakan feminis atau reformasi hukum keluarga yang bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan.
Secara sosial fundamentalisme dapat menyebabkan polarisasi masyarakat dengan memperkuat pemisahan antara kelompok yang berbeda berdasarkan keyakinan agama atau ideologi. Secara politik fundamentalisme seringkali mengarah pada tindakan memaksakan pandangan dan kebijakan mereka kepada masyarakat melalui tekanan politik atau bahkan kekerasan, yang dapat menghambat proses demokrasi dan kebebasan berpendapat. Secara intelektual, pandangan ini menolak pemikiran kritis dan interpretasi yang kontekstual terhadap teks-teks suci atau doktrin agama, membatasi kebebasan berpikir dan berekspresi. Sejatinya, teks-teks suci seringkali diturunkan dalam konteks yang berbeda dengan zaman yang modern. Interpretasi yang terlalu literal mungkin tidak mampu mengakomodasi perubahan sosial, ilmiah, atau moral yang terjadi sepanjang sejarah manusia.
Pandangan fundamentalisme cenderung bersifat dogmatis dan menganggap keyakinan mereka sebagai satu-satunya kebenaran yang mutlak. Hal ini dapat menyebabkan intoleransi terhadap pandangan dan kepercayaan yang berbeda, memicu konflik antara kelompok dengan keyakinan yang berbeda. Pandangan ini seringkali menolak gagasan baru dan perkembangan intelektual serta sosial karena dianggap bertentangan dengan doktrin yang sudah ada. Banyak tokoh agama mengkritik fundamentalisme karena melihatnya sebagai penyimpangan dari esensi ajaran agama yang seharusnya menginspirasi perdamaian, penghargaan terhadap perbedaan, dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap spiritualitas. Tokoh agama juga menyoroti bahwa fundamentalisme cenderung menekankan aspek-aspek eksternal formalisme keagamaan daripada nilai-nilai etika, moral, dan kemanusiaan yang sebenarnya diusung oleh agama-agama tersebut. Salah satu tokoh agama yang mengkritik pandangan fundamentalisme adalah Tariq Ramadan, seorang intelektual muslim yang sering menekankan pentingnya pemahaman yang lebih luas terhadap ajaran agama, menolak keras tindakan kekerasan atas nama agama, dan mendorong dialog antar agama untuk mempromosikan pemahaman yang lebih mendalam dan toleran antarumat beragama.
Untuk itu ada aliran pemikiran Islam yang menawarkan pendekatan yang lebih inklusif, kontekstual, dan progresif terhadap teks-teks suci dan tradisi Islam yaitu pemikiran reformis yang menekankan pentingnya kembali kepada nilai-nilai asli Islam yang dianggap universal dan relevan dalam konteks zaman modern. Contohnya adalah gerakan pembaruan Islam yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan ini menekankan pentingnya memahami ajaran Islam secara lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berkembang pada masanya. Muhammad Abduh bersama dengan tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani, mengadvokasi untuk kembali ke pemahaman asli Islam yang lebih seimbang antara agama dan ilmu pengetahuan serta antara agama dan kemajuan sosial. Sementara Islam liberal menekankan kebebasan individu, hak asasi manusia, dan pluralisme. Hal ini dapat ditemukan dalam karya tokoh-tokoh seperti Nasr Abu Zayd dan Amina Wadud.
Dapat diketahui, tidak ada satu interpretasi tunggal dalam Islam melainkan banyak perspektif yang beragam. Keanekaragaman pemikiran dalam Islam tercermin dalam berbagai aliran pemikiran, tradisi hukum, teologi, dan praktik keagamaan yang berbeda di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis dan dapat diinterpretasikan sesuai dengan perubahan zaman dan konteks sosial. Penting untuk diingat bahwa kesadaran akan keragaman ini dapat membantu kita menghargai kompleksitas dan kekayaan warisan intelektual Islam serta mendorong dialog dan pemahaman yang lebih baik antara berbagai kelompok dan komunitas Muslim di seluruh dunia. Dengan menyoroti kerentanan dan kelemahan dalam pandangan fundamentalisme, kritik ini mendorong refleksi kritis terhadap praktik-praktik dan keyakinan yang dianggap sebagai norma dalam tradisi Islam. Ini membuka ruang untuk mempertimbangkan ulang, menginterpretasikan ulang, dan memperbarui pemahaman tentang ajaran Islam sesuai dengan tuntunan zaman modern dan nilai-nilai universal seperti kebebasan, toleransi, dan keadilan.
